Beranda | Artikel
Empat Kaidah Dasar [bagian 8]
Selasa, 29 Januari 2013

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:

Dalil bahwasanya ada diantara mereka (orang musyrik) yang memuja matahari dan bulan adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Diantara tanda kebesaran Allah adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi sujudlah kepada Allah yang telah menciptakan itu semua, jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat: 37)

Dalil bahwasanya ada diantara mereka yang memuja malaikat adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan dia [rasul] tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan.” (QS. Ali ‘Imran: 80)

Dalil bahwasanya ada diantara mereka yang menyembah nabi-nabi adalah firman Allah (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Allah bertanya; Wahai Isa bin Maryam, apakah engkau berkata kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sesembahan selain Allah. Maka Isa menjawab: Maha suci Engkau, tidak layak bagiku untuk mengatakan sesuatu yang bukan menjadi hakku. Jika aku telah mengatakannya pastilah Engkau sudah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib.” (QS. Al-Ma’idah: 116)

Dalil bahwasanya ada diantara mereka yang memuja orang-orang salih adalah firman Allah (yang artinya), ”Mereka itu yang diseru selain Allah justru mencari kedekatan diri kepada Allah; siapakah diantara mereka yang paling bisa dekat dengan-Nya dan berharap rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya.” (QS. Al-Isra’: 57)

Dalil bahwasanya ada diantara mereka yang beribadah kepada pohon dan batu adalah firman Allah (yang artinya), “Bagaimanakah pendapat kalian tentang Latta, ‘Uzza, dan Manat sesembahan yang ketiga.” Demikian pula hadits Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu’anhu. Beliau berkata, “Suatu ketika kami pergi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Ketika itu kami masih baru keluar dari kekafiran (baru masuk Islam). Sementara orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka gunakan untuk tempat i’tikaf dan menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu dikenal dengan nama Dzatu Anwath. Lalu, ketika kami melewati pohon itu, sebagian diantara kami berkata: Wahai Rasulullah, jadikanlah untuk kami sebuah Dzatu  Anwath (tempat istimewa untuk menggantungkan senjata) sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.” (al-Hadits)

[lihat Mu’allafat asy-Syaikh al-Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 201-202]

Penjelasan Global

Keterangan ini merupakan kelanjutan dan perincian dari keterangan sebelumnya, yang menjelaskan kepada kita bahwa realita kemusyrikan di masa silam menunjukkan bahwa mereka bukan hanya penyembah berhala. Bahkan diantara mereka ada pemuja malaikat, pemuja nabi, pemuja orang salih, penyembah matahari dan bulan, penyembah batu dan pohon. Sehingga ini menunjukkan bahwa orang musyrik tidaklah dikatakan musyrik semata-mata karena menyembah patung; sebagaimana yang dikira oleh banyak orang.

Bahkan, sesungguhnya patung yang mereka buat adalah simbol saja untuk mewakili sosok malaikat, nabi, wali, orang salih, dan lain sebagainya. Sementara mereka tidaklah meyakini bahwa apa yang mereka sembah itulah yang menciptakan dan mengatur kehidupan. Sebab mereka hanya menjadikan apa-apa yang mereka puja sebagai perantara dan sarana untuk mendapatkan syafa’at dan kedekatan diri di sisi Allah ta’ala. Dan di situlah letak kesyirikan mereka sebagaimana sudah diterangkan dalam kaidah sebelumnya.

Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa pada hakikatnya apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang akrab dengan tradisi kemusyrikan berupa perbuatan mengeramatkan kubur orang salih, berdoa kepada wali yang sudah mati, memberikan sesaji kepada jin penunggu jembatan, jin penunggu gunung atau jin penunggu batu dan pohon keramat adalah sama dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik di masa lampau. Bahkan, bisa jadi apa yang mereka lakukan sekarang ini lebih parah!

Pemujaan Matahari dan Bulan

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Diantara tanda kebesaran Allah adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi sujudlah kepada Allah yang telah menciptakan itu semua, jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat: 37)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud dari ayat, “Janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi sujudlah kepada Allah yang telah menciptakan itu semua.” Beliau berkata, “Janganlah kalian mempersekutukan hal itu dengan-Nya. Karena tidaklah berguna ibadah kalian kepada-Nya jika kalian juga beribadah kepada selain-Nya. Sebab Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [7/182] cet. Dar Thaibah)

Pemujaan Malaikat dan Nabi

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan dia [rasul] tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan.” (QS. Ali ‘Imran: 80)

Ibnu Juraij dan sekelompok ulama tafsir yang lain menjelaskan, bahwa maksud dari ayat ini adalah, “Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan Shabi’in yang berkeyakinan bahwa malaikat adalah putri-putri Allah. Tidak juga sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani yang berkeyakinan tentang ‘Isa al-Masih dan ‘Uzair seperti apa yang mereka ucapkan [bahwa mereka adalah anak Allah, pent].” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 220 oleh Imam al-Baghawi)

Disebutkan dalam riwayat, bahwasanya suatu ketika orang-orang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian mereka berkata, “Apakah kamu wahai Muhammad ingin untuk kami jadikan sebagai rabb/sesembahan?” Maka Allah pun menurunkan ayat di atas sebagai tanggapan untuk mereka (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [5/187] oleh Imam al-Qurthubi)

Berikut ini kelengkapan rangkaian ayat di atas. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang manusia yang diberikan Allah kepadanya al-Kitab, hukum dan kenabian lantas berkata kepada manusia: Jadilah kalian sebagai pemuja diriku sebagai tandingan untuk Allah. Akan tetapi jadilah kalian rabbani dengan sebab apa yang kalian ajarkan berupa al-Kitab dan apa yang kalian pelajari. Dan tidaklah dia memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan nabi-nabi sebagai sesembahan. Apakah dia hendak memerintahkan kalian kafir setelah kalian memeluk Islam?” (QS. Ali ‘Imran: 79-80)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Lalu Allah berfirman (yang artinya), “Dan dia tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan” yaitu dia tidak memerintahkan kalian untuk beribadah kepada siapapun selain Allah, baik kepada nabi yang diutus ataupun malaikat yang dekat -dengan Allah-. “Apakah dia akan memerintahkan kalian kepada kekafiran setelah kalian memeluk Islam?”. Artinya dia [rasul] tidak melakukan hal itu. Karena barangsiapa yang mengajak kepada peribadatan kepada selain Allah maka dia telah mengajak kepada kekafiran. Padahal para nabi hanyalah memerintahkan kepada keimanan; yaitu beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya’: 25) dst.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [2/67])

Pemujaan Orang Salih

Dalil bahwasanya ada diantara mereka yang memuja orang-orang salih adalah firman Allah (yang artinya), ”Mereka itu yang diseru selain Allah justru mencari kedekatan diri kepada Allah; siapakah diantara mereka yang paling bisa dekat dengan-Nya dan berharap rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya.” (QS. Al-Isra’: 57)

Ibnu ‘Abbas dan Mujahid menafsirkan, bahwa yang dimaksud ‘yang diseru selain Allah’ di dalam ayat ini adalah: ‘Isa, ibunya [Maryam], ‘Uzair, malaikat, matahari dan bulan serta bintang-bintang. Mereka semua mencari kedekatan diri atau kedudukan yang mulia di sisi Allah. Adapun Ibnu Mas’ud menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kejadian yang menimpa orang musyrikin arab masa silam yang menyembah kepada jin, kemudian ternyata jin yang mereka sembah masuk Islam sedangkan mereka tidak mengetahuinya. Sementara mereka terus bertahan di atas kesyirikannya. Maka Allah pun mencela perbuatan mereka dengan turunnya ayat ini (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 746)

Pemujaan Batu dan Pohon

Dalil bahwasanya ada diantara mereka yang beribadah kepada pohon dan batu adalah firman Allah (yang artinya), “Bagaimanakah pendapat kalian tentang Latta, ‘Uzza, dan Manat sesembahan yang ketiga.” (QS. An-Najm: 19-20)

Latta dahulunya adalah sosok lelaki yang suka mencampur gandum dengan daging untuk disedekahkan kepada para jama’ah haji. Ketika lelaki salih ini meninggal maka orang-orang pun menjadikan kuburnya sebagai tempat ibadah. Adapun ‘Uzza adalah sebuah pohon keramat yang dikelilingi dengan bangunan dan kain penutup. Sementara Manat adalah batu putih besar yang berukir dan disembah oleh para penduduk Tha’if (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 48 oleh Muhammad bin Sa’ad al-Hanin)

Adapun dalil pemujaan kepada pohon di dalam as-Sunnah adalah hadits Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu’anhu. Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu’anhu berkata, “Suatu ketika kami pergi bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Ketika itu kami masih baru keluar dari kekafiran (baru masuk Islam). Sementara orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka gunakan untuk tempat i’tikaf dan menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu dikenal dengan nama Dzatu Anwath. Lalu, ketika kami melewati pohon itu, sebagian diantara kami berkata: “Wahai Rasulullah, jadikanlah untuk kami sebuah Dzatu  Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.” (HR. Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari para sahabat tatkala mereka meminta kepada beliau untuk dibuatkan sebuah tempat khusus (pohon) untuk menggantungkan senjata dan mengharap berkah darinya, sebab perbuatan ini adalah termasuk kesyirikan.

Hal ini juga menunjukkan kepada kita bahwa kebiasaan mencari berkah kepada pohon keramat sudah ada sejak dahulu kala, dan itu adalah termasuk tradisi kemusyrikan yang harus diberantas dari atas muka bumi ini. Tradisi semacam ini jika tidak dihadapi dengan dakwah tauhid niscaya terus menjalar dan merusak akal sehat manusia. Bahkan, di masa kita sekarang ini kita dapati berbagai ritual kemusyrikan justru dilestarikan dengan dalih menghormati warisan leluhur dan menyemarakkan pariwisata, wallahul musta’aan.

Faidah Hadits

Dari hadits di atas ada beberapa pelajaran penting yang patut untuk kita renungkan, yaitu:

  1. Besarnya bahaya akibat tidak memahami tauhid, sehingga hal itu akan menyeret orang ke dalam perbuatan atau keyakinan syirik dalam keadaan dia tidak menyadarinya. Maka kebodohan dalam masalah aqidah adalah sangat berbahaya.
  2. Hadits di atas menunjukkan bahaya meniru-niru orang musyrik, karena hal itu akan bisa menyeret kepada tindak kemusyrikan. Oleh sebab itu tidak boleh meniru-niru (tasyabbuh) kepada mereka.
  3. Mencari berkah kepada pohon, batu, dan bangunan -termasuk di dalamnya kubur-kubur wali- adalah perbuatan syirik. Karena di dalamnya terkandung pencarian berkah kepada selain Allah, entah itu ditujukan kepada batu, pohon, kubur, atau tempat-tempat keramat yang lain. Itu semua termasuk syirik (lihat transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, hal. 29)

Ulasan Kaidah

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan beberapa catatan berharga sebagai berikut:

  1. Sesembahan yang ada di masa diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beraneka ragam, tidak terbatas berupa berhala. Bahkan diantara mereka ada yang memuja nabi dan orang salih. Sehingga pemujaan kepada orang salih (baca: kuburnya) termasuk perbuatan syirik yang harus diperangi.
  2. Keumuman perintah untuk memerangi segala jenis orang musyrik -yaitu yang beribadah kepada selain Allah- apa pun bentuk sesembahannya, entah itu malaikat, nabi ataupun orang salih (wali)
  3. Kebatilan penafsiran para pengagung kubur yang membatasi tafsir ayat-ayat tentang syirik hanya kepada pemujaan terhadap berhala dan -menurut mereka- hal itu tidak berlaku (bukan syirik) apabila yang dipuja adalah nabi atau orang salih (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Muhammad bin Sa’ad al-Hanin, hal. 49)


Artikel asli: http://abumushlih.com/empat-kaidah-dasar-bagian-8.html/